December, 31st
2015
Deburan ombak terdengar
jelas di telingaku, tetapi suara keramaian di luar sana lebih jelas dan
memekakkan telingaku.
Mereka tertawa dengan
bahagia. Berangkulan, bergandengan, bertatapan, berbincang-bincang, seakan tak
ada suasana kesedihan di tengah-tengah mereka. Aku pun merasa begitu.
Dua cangkir kopi di
depanku kini sudah mulai dingin. Aku pikir aku sudah berada di sini selama 30
menit, tetapi itu tak masalah buatku. Meskipun kini matahari telah berganti bulan,
aku tak peduli.
Aku menghela napas
panjang, memejamkan mataku sejenak menikmati indahnya alunan musik jazz yang kini tengah memenuhi kafe dengan
interior tradisional yang sepi ini.
Kubuka mataku kembali
saat kudengar suara-suara di luar yang semakin bising. Rupanya acara yang “dia”
tunggu-tunggu sudah hampir dimulai.
“Astaga, maafkan aku.
Felix memang keterlaluan. Entah apa yang ada di otaknya hingga dia bisa
melupakan begitu saja ke mana tempat tujuanku.” Aku tersenyum lebar saat
kulihat seorang perempuan yang seumuran denganku datang dan duduk di hadapanku.
Dia masih sama.
Sama-sama cantik dan masih bisa bertengkar dengan adiknya meski untuk hal
sekecil apa pun.
“Malam ini kau cantik
sekali, Lonna,” kataku spontan. Sungguh aku tak sengaja mengatakannya. Ini
keluar dari mulutku dengan sendirinya. Dan bisa kurasakan pipiku pasti memerah
sekarang.
“Emm ... thanks, Fin,” jawabnya. Dia sedikit
menundukan kepalanya. Kurasa pipinya pun memerah sekarang.
Suasana mendadak
hening. Aku menyukai keheningan seperti ini jika sedang bersamanya. Menatapnya
diam-diam dan membiarkan degup jantung ini mengisi suasana hati. Setelah
kuperhatikan lagi, dari luar dia memang tampak masih sama saja seperti dulu,
tetapi ketika melihat ke dalam, aku bisa merasakan perbedaannya.
“Oh, acaranya akan
dimulai!” Aku terlonjak saat dia berseru dan memecah keheningan tadi. Tanpa
sempat menyentuh cangkir kopi yang sudah kuletakkan di hadapannya itu, dia
sudah beranjak berdiri sambil menatap keluar jendela cafe.
Di luar sana memang
keramaian kini mulai semakin merebak. Banyak orang berlarian ke tepi pantai.
Beberapa dari mereka memegang sebuah lampion kotak dan mulai menyalakan api di
dalamnya.
Aku dengar dari
seseorang bahwa lampion mampu mengantarkan do’a dan harapan kita pada Tuhan.
Kita hanya perlu menyebutkan do’a dan harapan kita, lalu menerbangkan lampion
itu, maka do’a dan harapan kita akan terwujud.
Seseorang yang
mengatakan itu ya tak lain adalah dia, gadis yang kini tengah bersamaku. Aku
tak menyangka, dari sekian banyaknya memori yang dia lupakan, lampion adalah
salah satu hal yang tak ia lupakan.
Dari dulu dia memang
sangat menyukai lampion. Dan kau tahu? Ini adalah kedua kalinya aku mengikuti event penerbangan lampion dengannya. Aku
tak sanggup mengingat kembali saat pertama kali aku mengikuti event seperti ini dengannya. Sungguh,
malam itu benar-benar malam yang sangat menyebalkan buatku.
December, 31st
2005
Malam ini aku akan
memberikan surat itu pada Lonna. Tetapi sepertinya dia sedang sibuk sekali
mengurusi lampionnya.
Aku merasa senang
sekali melihat dia tersenyum lebar menulisi lampion kecil itu dengan do’a dan
harapannya. Meski aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, tetapi aku merasa
dia seakan berada di sampingku.
Ya, aku menyukainya.
Aku tahu. Bocah umur 10
tahun mana mungkin tahu soal cinta, tetapi aku yakin aku menyukainya lebih dari
sekadar teman bermainnya di rumah.
Dan sekarang, aku ingin
dia mengetahui apa yang selalu kurasakan ketika berada di dekatnya.
Dengan langkah mantap,
aku berjalan ke arahnya yang tengah berdiri di tepi pantai. Meski jantungku
berdegup tak karuan, tetapi rasanya aku ingin sekali cepat-cepat
memberitahukannya.
Jarakku kini semakin
dekat dengannya saat tiba-tiba kulihat beberapa anak remaja tengah berlarian
sambil bergurauan dengan teman yang mengejar di belakangnya tepat menuju arah
Lonna.
Mereka bisa menubruk
Lonna! Spontan aku terkejut dan segera berlari mendekati Lonna.
Aku tahu apa yang akan
terjadi jika orang itu menabrak tubuh Lonna. Aku bahkan tak sanggup
membayangkannya, jadi aku harus menolong Lonna.
Aku terus berlari dan
langsung mendorong tubuh Lonna ketika tiba di sana. Kami jatuh bersamaan, dan
seketika itu kudengar jeritan seseorang.
“Fiinnn!! Apa yang kau
lakukan??! Kau merusak lampionku!” teriak Lonna sambil menuding lampionnya yang
baru kusadari telah hancur di bawah badanku.
Aku bangkit lalu kuambil lampion yang sudah tak
berbentuk itu. “Ma-maafkan aku, Lonna—“
“Aku benci kamu! Aku
tak mau lagi berteman denganmu!” teriak Lonna lagi sambil mengusap pipinya yang
mulai terbasahi oleh air mata.
Kuulurkan tanganku,
hendak membantu mengelap air matanya, namun belum setengah tanganku terjulur,
dia sudah membalikkan badannya dan berlari meninggalkanku sambil menangis.
Malam ini juga, untuk
pertama kalinya, aku membenci diriku sendiri.
December, 31st
2015
“Fin, aku ingin kau menuliskan
harapanmu di sini juga,” ucap Lonna sambil memberikan lampion yang dibelinya
tadi. Ia barusaja menuliskan harapannya di lampion itu dan kini dia
menawarkannya padaku?
Kupejamkan mataku
sejenak, memikirkan matang-matang apa yang menjadi harapan terbesarku saat ini.
Setelah itu, aku pun mulai menulis dengan segenap perasaanku yang terdalam.
Begitu aku selesai
menulis, aku langsung menerbangkan lampion itu, menyusul lampion-lampion lain
yang sudah mulai terbang. Aku hanya tak ingin dia melihat do’a dan harapanku.
“Fin?”
Oh, astaga! Apa yang
sudah kulakukan? Seharusnya Lonna yang menerbangkan lampion itu! Bukankah yang
dia tunggu-tunggu adalah sesi penerbangan lampion itu sendiri? Ah, aku
benar-benar bodoh. Seharusnya aku tak mengulangi kesalahan itu lagi.
“Eemm ... Ma-maaf—“
“Tidak apa-apa kok,
lagian aku tak bisa menerbangkan lampionnya,” katanya sambil tersenyum lebar
dan menengadahkan kepalanya menatap ratusan lampion yang beterbangan di langit
malam.
“Lonna, sungguh,
maafkan aku, aku—“
Lonna menoleh dan
tersenyum manis padaku. “Apa sih yang membuatmu begitu takut melakukan
kesalahan padaku? Aku selalu bilang kalau itu tak masalah buatku, ‘kan? Haha ... rasanya kau takut sekali dibenci
olehku ya?”
Aku bungkam. Entah aku
harus bahagia atau sedih, tetapi dia yang ada di hadapanku memang berbeda.
Memori itu, kenangan itu, benar-benar lenyap tak berbekas di ingatannya.
“Fin, aku tak pernah
membencimu. Sungguh. Aku ... aku menyukaimu.” Jantungku berdebar saat dia
menggenggam kedua tanganku. “Aku menyukaimu ... lebih dari sekadar teman.”
Rasanya aku ingin
menangis. Antara sedih dan senang. Sudah sepatutnya aku sedih, karena Lonna
menjadi seperti ini bukan karena dia berubah, tetapi karena insiden kecelakaan itu
yang membuatnya amnesia.
Dia menyukaiku karena
dia tak ingat dulu aku sudah membuatnya benci
padaku. Tetapi aku senang, sangat senang, karena harapan yang baru saja kutulis kini terwujud sudah. Mungkinkah ini
disebut keegoisan? Atau memang takdir Tuhan? Entahlah.
“Aku juga menyukaimu,
Lonna. Lebih dari sekadar teman.”
Originale by Felisaries Fae
Theme : Romance

![[CERPEN ROMANCE] LAMPION cerpen romance lampion](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixGgVYXoR1U3m16m9bV7Ok4lw4Zxo8ZzjgueajZbSZB2hF2uVAaeISpzf6t7nA4ervH9i-AT7zxneokzU2rKGmd63pDxl-HHJQcfLu9HkVjuioaxS-5yzfbYoYU7SFv-BMGth66_8wwQzv/s16000/cerpen-romance-lampion.jpg)
0 Komentar