Memang sudah kepikiran pengen berbagi pengalaman ke psikiater sampai menjalani rawat jalan selama setengah tahun.
Mungkin ini bisa membantumu juga supaya kamu lebih tahu apa yang perlu dipersiapkan, bagaimana rasanya, atau informasi apa saja untuk berobat ke psikiater? Simak baik-baik ya.
Awal Mula yang Mendorong Diri ke Psikiater
Sebelumnya aku sudah bercerita tentang sakit mentalku di pos I’m with Anxiety Disorder and Pshycosomatic. Namun di sana aku nggak menjelaskan secara spesifik bagaimana aku ke psikiater dan apa saja informasinya.
Aku mengalami gangguan kecemasan, stres berkepanjangan, sampai tidak mau bersosialisasi selama setahun tapi aku masih menganggap hal itu normal, alias aku nggak menyadari kalau sebenarnya psikisku sudah mulai terganggu.
Setahun kemudian barulah terasa sekali perubahannya, kondisiku makin parah bahkan sampai berpikiran untuk mati dan bunuh diri.
Aku memang tidak pernah mencoba self-injury yang sampai berdarah-darah, tapi kalau seperti menyakiti diri sendiri dengan cara menghantamkan kepala ke tembok, menjambak, dan mogok makan sampai akhirnya terkena maag dan asam lambung itu aku sering, hehe, jangan ditiru, ya.
Setelah setahun itu dan kondisi semakin buruk, aku juga merasa kualitas hidupku menurun drastis, sering nangis, suka mengurung diri, tidak semangat hidup, rasanya hampa, gelap, dan intinya ingin mati saja.
Aku sudah pasrah dan tidak tahu harus bagaimana. Lalu kebetulannya lagi aku berkenalan dengan teman online, dia penyintas Bipolar Disorder, dari dia inilah yang menyadarkanku bahwa aku butuh pertolongan ahlinya.
Nah, kalau kamu merasakan hal serupa: sangat mengganggu aktivitas keseharian, sangat butuh pertolongan tapi tidak tahu harus bagaimana, dan parahnya sudah berpikiran sampai ingin mengakhiri hidup, sebaiknya langsung saja mendatangi psikiater.
Mengapa Harus ke Psikiater? Bolehkah ke Psikolog Saja?
Mungkin ini bisa menjadi pertimbanganmu, apakah sebaiknya ke psikiater atau psikolog. Yang jelas keduanya berbeda.
Secara sederhananya, jika kamu konsultasi ke psikolog, kamu hanya akan diberikan pengarahan, terapi, dan konseling.
Maka dari itu, biasanya orang-orang yang mengalami stres dan depresi karena suatu masalah dan masih dalam kategori yang belum terlalu darurat akan lebih suka datang ke psikolog.
Sedangkan di psikiater, kamu akan mendapat konseling dan obat. Orang-orang yang sudah mengalami gangguan jiwa kritis seperti sering self-injury atau berpikiran ingin bunuh diri tandanya ada ketidakseimbangan dalam zat kimiawi otak manusia dan hormon yang tidak stabil. Makanya psikiater akan memberikan resep obat untuk mengatasi hal tersebut.
Jadi, pergi ke psikiater atau psikolog juga tergantung dari bagaimana kondisimu. Selain itu, saat ini setahuku psikolog belum bisa dicover BPJS, itu artinya kamu belum bisa konsultasi gratis pakai BPJS di psikolog. Lain halnya dengan psikiater.
Cara Pergi ke Psikiater Menggunakan BPJS
Waktu aku mau ke psikiater, aku emang pakai BPJS, jadi prosedur ke psikiater yang aku gunakan adalah yang menggunakan BPJS. Dengan BPJS ini, kamu bisa berobat gratis di psikiater.
Kalau kamu belum punya, kamu bisa daftar dulu dan bikin. Caranya bisa kamu lihat di sini. Pendaftaran BPJS ini gratis ya, nggak bayar. Bayarnya tiap bulan, hehe.
Di kotaku sendiri psikiater hanya ada di rumah sakit, sedangkan untuk memperoleh layanan gratis psikiater menggunakan BPJS, aku diharuskan meminta surat rujukan dulu dari fasilitas kesehatan pertama yang aku pilih untuk layanan BPJS. Faskes tersebut ialah puskesmas di daerah kecamatanku.
Untung buat kamu jika puskesmas di sekitar tempat tinggalmu melayani klinik jiwa atau psikiater, kamu tidak perlu ke rumah sakit, langsung ke puskesmas saja, dan biasanya biayanya lebih murah di sana.
Tapi kalau sama sepertiku…? Kamu coba saja ikuti langkahku.
Jadi, aku check up dulu ke puskesmas dan konsultasi mengenai hal-hal yang aku keluhkan. Setelah itu barulah aku diberikan surat rujukan ke rumah sakit pilihan.
Kamu akan dikasih pilihan rumah sakit mana yang kamu inginkan, rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit yang membuka layanan psikiater BPJS.
Tapi waktu itu aku langsung direkomendasikan oleh dokter yang ada di puskesmas tersebut, jadi aku nggak milih. Kalau kamu juga seperti ini, tidak apa-apa, dokter lebih tahu mana yang pelayanannya lebih bagus.
Tapi kalau pas kamu sudah konsultasi dan nggak cocok, kamu bisa ganti dokter atau ganti rumah sakit.
Berapa Biaya ke Psikiater?
Yang jelas nggak cuma puluhan ribu rupiah saja, tapi bisa sampai ratusan ribu. Makanya kalau kamu emang sudah bertekad ingin berobat ke psikiater, kamu harus menyiapkan hal ini juga.
Karena waktu itu aku pakai BPJS, jadi biaya berobatku gratis. Hanya saja ada obat tertentu yang BPJS hanya mengcover jumlah obat yang dikonsumsi selama seminggu saja.
Pertama kali aku berobat, aku mendapat obat tersebut yang harus dikonsumsi selama sebulan full, alhasil jumlahnya pun bertambah dan melebihi kapasitas yang dicover BPJS.
Sisa biaya obat tersebut harus ditanggung sendiri, dan saat itu aku harus mengeluarkan sejumlah uang sekitar seratus ribuan.
Jadi, buat jaga-jaga, kamu bisa menyiapkan uang sebesar 300 hingga 500 ribu rupiah jika tidak menggunakan BPJS.
Pertama Kali Datang ke Psikiater
Ketika diberi surat rujukan, tentu kamu akan diberitahu jam berapa dan hari apa kamu harus datang ke rumah sakit rujukan tersebut.
Rumah sakit rujukan di tempatku memiliki poliklinik jiwa yang terpisah dari induk rumah sakit, jadi di sana seolah berdiri klinik khusus sendiri di mana ada tempat registrasi dan farmasinya sendiri, terpisah dari poliklinik lainnya yang notabene bercampur menjadi satu di induk rumah sakit.
Saat registrasi, aku disuruh memilih dokter mana yang aku inginkan. Nah, di sinilah penentu kenyamananmu selama kamu berobat.
Psikiater itu macem-macem, loh, ada yang bisa lebih cepat membantu proses penyembuhanmu, ada pula yang justru memperparah.
Maksudnya, tiap orang kan karakternya berbeda-beda, tidak menutup kemungkinan kamu akan mendapat psikiater killer yang super dingin, jutek, dan galak. Psikiater jenis ini mungkin bisa bikin kamu nggak nyaman dan malah membuatmu semakin parah.
Ada juga yang cuek, dalam artian dia hanya mendengarkan keluhanmu saja, lalu menuliskan resep obat, seperti periksa sakit fisik di dokter umum.
Ada pula yang sangat perhatian, ramah, dan memberikan kontribusinya lebih banyak dalam proses pengobatanmu.
Pilihlah dengan tepat. Kamu bisa meminta rekomendasi dari pasien lain atau dari petugas di sana.
Kalau aku, sih, waktu itu mendapat rekomendasi dari keluarga pasien yang sedang menunggu giliran obat.
Dan benar saja, dokternya ramah, tapi sayang sekali, aku agak kecewa karena kontribusinya hanya sekitar 50% saja.
Jangan sungkan untuk mengganti dokter bahkan rumah sakit apabila kamu merasa tidak nyaman. Karena hal tersebut sangat mempengaruhi dirimu dalam proses pengobatan.
Apa yang Perlu Dipersiapkan?
Hal yang paling utama sekali untuk kamu persiapkan selain uang adalah catatan. Kamu harus mencatat segala keluhanmu selama ini, karena nantinya kamu perlu menceritakan serinci mungkin apa yang menjadi penyebab kamu seperti ini.
Kalau kamu bisa ingat dengan jelas tanpa harus mencatat juga tidak apa-apa, hanya saja aku menyarankannya dicatat. Karena setiap konsultasi itu waktunya sangat terbatas, berbeda sekali dengan psikolog yang mungkin bisa hingga berjam-jam.
Pasien tidak hanya kamu saja, jadi dokter membatasi waktu konsultasi. Jika kepepet dan sedang membludak, dokter bisa saja memotong waktu konsultasimu.
Makanya lebih baik sediakan catatan supaya kamu bisa menyampaikan keluhanmu dengan jelas, rinci, dan cepat.
Hal kedua yang perlu kamu siapkan lagi yaitu mental. Meskipun kamu akan berhadapan dengan terapis yang bisa membantumu sembuh, tapi kamu juga perlu menyiapkan mental.
Usahakan kamu dalam keadaan rileks, atau setidaknya kamu bisa lebih terkendali ketika pertama kali konsultasi supaya kamu bisa menyampaikan keluhan tanpa membuang waktu gara-gara keadaanmu yang tidak terkendali.
Usahakan untuk tidak melibatkan emosi yang terlalu berlebihan seperti menangis tersengguk-sengguk dalam waktu yang lama karena itu bisa membuang waktu konsultasimu.
Kamu boleh mencurahkan segalanya, tapi upayakan untuk tidak berlebihan.
Gambaran Periksa ke Psikiater
Bagaimana, sih, gambaran konsultasi dengan psikiater? Apakah seperti curhat bersama teman? Apakah kita akan disuruh konsultasi sendirian?
Kalau menurut saya, hal ini tergantung dari kebijakan pelayanan masing-masing psikiater. Kalau di tempatku, kita periksa ke psikiater ya kayak periksa sakit fisik biasa.
Iya, tidak ada sekat-sekatan. Tidak ada ruang pribadi nan tertutup seperti yang kamu pikirkan. Di tempatku, kamu cerita soal aibmu yang menjadi penyebab kondisimu sekarang juga bisa didengar oleh orang lain.
Jadi, pada poliklinik rumah sakit tersebut, tepatnya untuk pasien terapisku, pas kita konsul kita harus didampingi pendamping yang ikut. Maksudnya misal kamu ke psikiater bareng ibumu, ya kamu harus masuk ruangan dengan ibumu.
Tapi sebenarnya ini optional, kalau ibumu nggak mau ikut ya kamu bisa sendirian. Jadi, ini tergantung kamu juga.
Sejujurnya, hal itu juga di luar ekspektasiku karena menurutku harusnya dokter melarang, pasalnya ini kan bersifat pribadi.
Terlebih lagi, pasien lain yang mendapat giliran dekat dengan giliranku akan disuruh menunggu di dalam ruangan konsultasi.
Ralat, di ruangan ada sekat yang terbuat dari gorden. Sekat ini adalah pembatas tempat konsultasi dan tempat menunggu.
Kalau di tempatmu juga seperti itu, atau ada hal lain yang kamu merasa nggak cocok dan nggak nyaman, kamu bisa langung ganti tempat, kok.
Tapi tidak semua tempat psikiater seperti itu. Ada juga yang ruangannya benar-benar tertutup dan hanya penyintas yang boleh masuk.
Baru ketika perlu adanya penjelasan kepada pihak keluarga atau pendamping, mereka akan dipanggil masuk.
Tak hanya itu, sebelum masuk ruangan, aku sempat diperiksa tekanan darahku.
Mungkin hal tersebut bertujuan untuk memantau perkembangan fisik kita juga, bagaimanapun penanganan gangguan jiwa di psikiater memang sudah melibatkan fisik.
Orang Tua Tidak Mengizinkan ke Psikiater
Kamu tidak sendiri. Ada banyak orang yang mengalami hal serupa, termasuk aku. Aku sendiri sempat disangkal oleh orang tuaku. Mereka berpikir aku masih baik-baik saja dan mereka masih meyakini dengan stigma “Orang yang periksa ke psikiater berarti orang gila.”
Kesehatan mental memang masih tabu sekali, terutama di mata para generasi sebelum generasi milenial. Makanya kamu nggak usah khawatir, karena hal tersebut wajar terjadi.
Yang perlu kamu lakukan adalah dengan meminta tolong orang lain. Kamu bisa meminta tolong sahabat, saudara yang bisa dipercaya, atau pacar untuk menemanimu konsultasi.
Atau kalau tidak memungkinkan semuanya, kamu coba beranikan diri untuk pergi ke psikiater sendirian.
Tenang saja, ada beberapa orang yang seperti itu juga. Kamu juga akan bertemu dengan banyak pasien di sana yang bisa menjadi temanmu. Ingat, mereka bukan orang gila.
Setelah kamu konsultasi, barulah kamu bisa meminta tolong ke terapismu untuk menjelaskan kondisimu kepada keluargamu.
Aku percaya, mereka akan lebih percaya kalau tenaga ahli sendiri yang turun tangan untuk menjelaskan.
Intinya, kamu jangan pernah menyerah. Sekalipun kamu sudah buntu dan tidak tahu harus bagaimana lagi, cobalah untuk tetap bertahan dengan mencari pertolongan ke yang lebih ahlinya.
Dengan begitu, kondisimu bisa lebih tertangani dan kamu pun berpeluang untuk kembali pulih seperti sedia kala lagi. Yakinlah bahwa masa itu akan datang. Dan ingat, kamu tidak sendirian.


0 Komentar