Advertisement

Main Ad

Experience : I'm with Anxiety Disorder and Psychosomatic

cerita anxiety disorder dan psikosomatik

 Experience : I’m with Anxiety Disorder and Psychosomatic

Tulisan Fae - Pada pembahasan kali ini, aku ingin berbagi kisahku mengenai apa yang dulu pernah aku alami. Suatu tantangan dan usaha yang sekecil apa pun itu perlu aku apresiasi sendiri. Dan aku berharap, dengan tulisan ini, akan ada banyak orang yang mungkin mengalami hal yang sama untuk tidak merasa sendirian lagi.

Perlu ditekankan di sini bahwa aku pun pernah mengalaminya.

Suatu Mimpi Buruk yang Menyebalkan

2019, tahun di mana aku divonis gangguan mental, tepatnya anxiety disorder. Sebenarnya aku sudah mengalami tekanan batin dan stres sejak lama, meskipun frekuensinya tidak sebanyak pada tahun tersebut.

Aku mulai nggak nyaman dengan kondisi yang aku rasakan ketika aku baru lulus SMK. Sebelum itu, sempat mengalami depresi karena suatu masalah dan mendapat bullying dari kerabat sendiri sampai aku kabur dari rumah karena nggak kuat.

Tapi itu nggak berlangsung lama, ada jeda panjang sampai akhirnya aku lulus. Sejatinya aku bermimpi untuk kuliah tapi nggak dapat izin dari orang tua, terpaksa aku harus kerja. Rupanya aku mendapat masalah dalam adaptasi.

Adaptasi Lingkungan Baru

Aku buruk sekali dengan persoalan adaptasi lingkungan baru.

Sepanjang tahun 2018 seakan aku belum menemukan jati diriku. Sebagai anak sulung, tentu ada banyak harapan besar dari orang tua, namun aku malah bertingkah menyedihkan. Aku dirundung rasa bersalah yang teramat besar tapi masih nggak bisa berkembang lebih maju.

Aku merasa tersudutkan, baik dari faktor eksternal maupun internal, perlahan mentalku pun terkikis sedikit demi sedikit. Aku semakin sering memaki diri sendiri, menghakimi diri, bercerita dengan orang terdekat yang aku berharap dapat mendorongku justru malah sebaliknya.

Jiwaku semakin hancur. Aku mencoba untuk selalu bersikap baik-baik saja, tapi kenyataannya aku masih belum bisa sekuat itu.

Puncak dari mimpi buruk itu adalah ketika aku memasuki dunia kerja dengan bidang yang sama sekali belum pernah aku geluti sekalipun di sekolahku dulu. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena rekanku sendiri tak mau membantu banyak.

Aku semakin frustrasi dan nggak tau kenapa, rupanya situasi tersebut mengoyak seluruh pertahananku yang tersisa. Duniaku mulai terasa gelap segelap-gelapnya, aku tak mengenali diriku sendiri.

Bukan mengada-ada, tapi aku benar-benar kehilangan kepercayaan diri terhadap aku sendiri, sampai aku seringkali berpikiran untuk bunuh diri. Bahkan aku mendengar banyak suara-suara buruk tentang diriku yang semakin kuat mendorongku untuk mati.

Suara itu penuh di dalam kepalaku, rasanya seperti aku sampai nggak bisa melihat apa pun di dunia, nggak mengenal apa bahagia, aku merasa sendirian.

Aku merasa sangat lemah, tanpa daya dengan kondisi yang seperti ini, aku nggak bisa mengendalikan diriku sendiri, seakan aku hidup tetapi nggak ada nyawanya.

Pertama Kali ke Poli Jiwa

Sudah beberapa kali aku meminta ke orang tua untuk memperbaiki mentalku yaitu dengan pergi ke psikolog atau psikiater. Tetapi orang tuaku beranggapan bahwa aku hanya pemalu dan penakut saja. Aku juga sempat pergi ke puskesmas untuk meminta surat rujukan ke rumah sakit, tetapi dokter yang kutemui sangat jutek dan berkata bahwa aku hanya menderita asam lambung dan maag.

Namun ketika aku berkenalan dengan seorang penyintas Bipolar Disorder, dia mendorongku kuat agar aku lebih berani mencoba ke psikiater. Untuk mendapat pelayanan psikiater memang bisa gratis jika kita memiliki BPJS, berbeda dengan psikolog.

Namun, realisasi pergi ke psikiater tersebut aku alami setelah aku mengalami kejadian ketika aku benar-benar nyaris mati. Aku nggak tahu apa yang aku pikirkan saat itu. Seperti sebelumnya, ketika aku berpikiran kosong, tiba-tiba saja banyak suara menyebalkan yang memenuhi kepalaku.

Suara itu memakiku habis-habisan, menyuruhku untuk mati, begitu terus berulangkali. Dan dalam kondisi setengah waras, aku menelungkupkan badanku di bawah kolong kasur yang super sempit dan engap.

Pikiranku hanya terpaku pada kalimat, “Aku ingin lenyap”, bahkan aku nggak mau tau tentang orang-orang rumah yang mulai panik mencariku. Aku hampir kehabisan oksigen ketika sampai akhirnya orang tua menemukanku.

Setengah sadar aku menangis, tetapi suara-suara itu masih tetap ada. Saking nggak tahannya, akhirnya aku teriak. Sebelumnya aku belum pernah sekalipun teriak seperti itu seumur hidupku.

Semenjak itu, orang tua mulai menyadari dan membawaku ke psikiater. Sebelumnya aku sempat didoakan dulu sama seorang bapak kyai, menuruti keyakinan orang tua.

Anxiety Disorder dan Panic Disorder

Pertama kali periksa, aku didiagnosa anxiety disorder. Sebenarnya penyakit mental ini memang masih general, karena anxiety disorder sendiri memiliki banyak sub klasifikasinya. Lebih jelasnya kalian bisa baca-baca di sini.

Aku bertemu dengan terapis laki-laki, baik sekali, bicaranya lembut dan sangat ramah. Pertama kali aku konsul, aku menangis dan meluapkan segala yang aku derita selama ini. Rupanya di psikiater, kita memang nggak di-treatment lebih spesifik seperti psikolog.

Psikiater hanya mendengarkan konsul pasien, memberikan beberapa saran, kemudian menulis resep untuk menebus obat di ruang farmasi. Oh ya, sebelum bercerita, aku sempat dicek tekanan darahnya dulu. Jika diperlukan, aku juga sempat diperiksa detak jantungku.

Aku perlu menjalani rawat jalan setiap sebulan sekali dengan mengonsumsi obat selama sebulan penuh setiap 3 kali dalam sehari. Berhubung obatnya banyak, BPJS nggak bisa meng-cover keseluruhan obat, jadilah aku harus bayar kurang lebih 100 ribuan rupiah.

Beberapa hari hingga minggu perawatan, aku masih sering banyak mengalami relapse atau kambuh. Ketika aku tiba-tiba merasa sesak napas, pusing, jantung berdegup kencang, gemetar, dan nggak bisa berpikir jernih ketika merasa takut atau panik.

Dengan kondisi yang seperti itu, kemudian diagnosaku berganti menjadi panic disorder atau gangguan panik. Situasi yang seperti demikian membuatku nggak fokus bekerja dan semuanya sedikit kacau.

Aku juga masih sering teriak kesetanan meskipun rutin meminum obat. Aku juga sempat ketergantungan obat. Jadi, ketika aku nggak meminum obat, respon tubuhku jadi nggak bersahabat, dan akhirnya relapse.

Skizofrenia? Salah Informasi kah?

Jadi, waktu itu sempat melihat surat rujukanku dan di kolom diagnosa tertulis skizofrenia. Bagiku skizofrenia cukup rumit. Itu semacam halusinasi atau delusi yang kita nggak bisa membedakan mana yang nyata dan enggak. Jadi, pas aku melihat tulisan tersebut, aku sempat ngeri.

Jadilah aku bertanya ke terapisku, dan dia berkata bahwa itu mungkin salah informasi. Aku sempat berpikir, mungkinkah ini gara-gara aku konsultasi mengenai kondisiku dulu yang suka mendengar bisikan suara-suara? Mungkin saja.

Dari Anxiety menjadi Psikosomatik

Anxiety disorder memang masih dikata general di gangguan mental. Nah, kalau psikosomatik berbeda lagi. Psikosomatik bukan dari golongan anxiety disorder. Aku sendiri masih mencoba mempelajari gangguan ini, tapi ketika tenggat waktu jadwal konsultasiku lebih dekat, diagnosaku berubah menjadi psikosomatik.

Oh ya, jadi ketika psikiater sudah merasa kita memperlihatkan kondisi yang lebih baik, dia akan memperpendek tenggat waktu konsultasi. Hal ini dikarenakan kondisi kita mulai stabil dan sudah nggak kronis lagi.

Pas awal-awal jadwal konsultasiku setiap sebulan sekali, lama-lama jadwal konsultasiku jadi 2 minggu sekali.

Aku masih belum ngerti kenapa psikiater mengubah diagnosaku menjadi psikosomatik, padahal keluhanku masih sama saja, yaitu sering sesak napas, pusing, dan mau pingsan ketika cemas yang berlebihan. Mungkin psikiater beranggapan bahwa sebenarnya aku sakit fisik tapi kondisinya selalu lebih parah kalau dipicu dengan stres.

Ya, mungkin seperti itu. Tetapi karena aku sendiri nggak pengen lama-lama terjebak dalam kesengsaraan tersebut, akhirnya aku juga berupaya keras untuk sembuh.

Aku selalu ingat kata psikiaterku bahwa obat paling manjur untuk mental dan jiwa adalah diri sendiri. Selama diri tersebut tidak mempunyai keinginan untuk sembuh, perawatan dan pengobatan apa pun tak akan berguna banyak.

Dari situ aku mulai berusaha untuk healing diri aku sendiri juga. Aku mencoba berbagai cara bagaimana caranya supaya aku bisa mendirikan benteng yang lebih kuat. Dan hasilnya adalah sekarang. Aku merasa lebih baik dari sebelumnya, dan sekarang aku sudah lepas obat.

Pernah Kambuh Lagi?

Tentu saja pernah. Dan aku kelabakan mencari obat.

Meskipun nggak separah dulu, tapi rasa-rasanya masih sama. Aku kehilangan diriku, kehilangan kendaliku. Masa-masa di mana aku bisa mati kapan saja.

Tapi untungnya dengan keyakinan yang sebelumnya aku upayakan tersebut, suara-suara bisikan itu nggak ada, jadi aku bisa lebih kuat berdiri daripada yang dulu.

Untuk waktu-waktu esok mungkin aku harus terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat supaya aku benar-benar terbebas dan nggak akan ada kambuh-kambuhan lagi.

Sekian dari kisahku ketika aku mengalami gangguan mental anxiety disorder dan psikosomatik. Aku sengaja nggak cerita terlalu detail karena mengandung unsur-unsur yang nggak bisa dipublikasikan, jadi mohon maaf jika kurang lengkap.

Tapi aku berharap banyak, semoga kisahku ini bisa menggerakkan dirimu agar lebih-lebih semangat dari aku dan bisa sembuh juga. Aku yakin kita semua bakal menapaki dan merasakan masa-masa yang kita harapkan.

Posting Komentar

0 Komentar